
Kata cemas sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kecemasan itu sendiri adalah suatu pengalaman yang subyektif mengenai ketegangan mental dan tekanan yang menyertai konflik atau ancaman (Muchlas, 1976). Menurut Carlos, kecemasan adalah rasa takut dan bayangan terhadap nasib buruk yang akan terjadi dimasa depan. Sedangkan menurut kamus kedokteran Dorland, kecemasan atau disebut Anxiety adalah keadaan emosional yang tidak menyenangkan berupa respon-respon psikofisiologis yang muncul sebagai antisipasi bahaya yang tidak nyata atau hanya khayalan (Dorland, 2010). Menurut data Kemenkes (Kementrian Kesehatan) tahun 2020 mengatakan bahwa kecemasan yang dialami oleh masyarakat khususnya kaum Millenial itu mencapai angka 6,8 persen atau mencapai jumlah 18.373 jiwa yang mengalami gangguan kecemasan, lebih dari 23.000 jiwa yang mengalami depresi dan sekitar 1.193 penduduk Indonesia yang ingin mencoba bunuh diri.
Berdasarkan dari rentang usia, kaum Millenial yang berusia 20-30 tahun yang merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Millenial adalah istilah umum yang sering kita dengar saat ini. Istilah generasi Millenial diambil dari istilah Millenial yang dicetuskan oleh 2 pakar sejarah dan penulis dari Amerika yaitu William Straus dan Neil Howe. Kaum Millenial atau sering disebut juga generasi Y ini dikelompokkan untuk generasi yang lahir pada tahun 1980-2000an (Aji, 2019). Menurut Data BPS (Biro Pusat Statistik) pada tahun 2018 penduduk Millenial di Indonesia mencapai 90 juta jiwa. Pada tahun 2020 penduduk Indonesia yang memiliki rentang usia 20-40 tahunan berjumlah kurang dari 80 juta jiwa. Jumlah tersebut tentu lebih besar daripada penduduk generasi Z yang hanya sekitar 20% dari total penduduk di Indonesia. Dari data tersebut, sudah dapat kita lihat bahwa perkembangan generasi Millenial itu sendiri sudah sangat pesat keberadaannya di Indonesia (Ilmiah, 2021).
Masa usia dimana seseorang mengalami quarter life crisis biasanya dimulai saat seseorang berada pada tahap awal masa dewasa. Masa dewasa mengacu pada tahapan yang dialami oleh individu yang berusia antara 18-29 tahun. Pada tahap tersebut, individu mulai melepas masa remajanya, tetapi belum sepenuhnya dapat mengerjakan tanggung jawab sebagai masa dewasanya. Maka dari itu, individu perlu untuk eksplorasi diri yang berkaitan mengenai pendidikan, karir, dan relasi dengan lawan jenis.
Quarter Life Crisis mengacu pada krisis ketika individu menghadapi ketidakpastian, keputusasaan, evaluasi diri negatif, terjebak dalam kehidupan saat ini, kecemasan tentang masa depan, stres, dan kekhawatiran dalam proses pengambilan keputusan (Robbins & Wilner, 2001). Quarter life crisis adalah suatu periode ketidakpastian dan pencarian jati diri yang dialami individu pada saat mencapai usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun. Pada periode ini, individu dihantui perasaan takut dan khawatir terhadap masa depannya, termasuk dalam hal karier, relasi, dan kehidupan sosial (Aristawati et al., 2021). Menurut Afnan, Fauzia, dan Tanau (2020), Quarter-life crisis merupakan reaksi individu terhadap ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, dan terlalu banyaknya pilihan-pilihan yang disertai rasa panik dan tidak berdaya.
Sepertihalnya dengan yang dikatakan oleh Robbins dan Wilner bahwa penyebab utama seseorang berada di fase Quarter Life Crisis karena ia kehilangan jati dirinya dalam arti di usia dua puluhan ia masih belum bisa memahami dan mengenali dirinya sendiri (Salsabila, 2021). Kemudian, menurut Atwood dan Scoltz menyatakan bahwa penyebab terjadinya seseorang berada di fase Quarter Life Crisis karena perasaan takut gagal yang dialami oleh seseorang dalam hidupnya. Dalam hal ini, perasaan takut berlebihan yang dialami oleh seseorang bahwa apa yang hendak diwujudkan namun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan atau dengan kata lain ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Kemudian terdapat faktor internal dan faktor eksternal seseorang dapat mengalami fase Quarter Life Crisis. Faktor internal yaitu: 1) Identity Exploration, dimana proses eksplorasi seseorang dari remaja menuju kedewasaan dimulai. 2) Instability, pada fase ini remaja sudah dianggap mampu meninggalkan ketergantungannya di masa remaja, namun belum sepenuhnya mengemban tanggungjawab secara penuh. 3) Being Self Focused, pada fase ini individu mulai belajar mandiri, seperti membuat keputusan sendiri dan berani bertanggungjawab atas dirinya. 4) Feeling In Between, fase berada antara remaja dan dewasa. Dimana individu harus memenuhi kriteria untuk menjadi dewasa namun dirinya belum sepenuhnya menjadi dewasa. 5) The Age of Possibilities, fase dimana individu memiliki kesempatan untuk berkembang kearah yang lebih positif.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi individu mengalami Quarter Life Crisis adalah 1) Hubungan Percintaan, Pertemanan dan Keluarga. Fase dimana individu memiliki keraguan dalam hal percintaan, hubungan pertemanan yang tidak cocok dan dalam hubungan keluarga yang memiliki tantangan bebas dan mandiri. 2) Hubungan pekerjaan dan karir dan 3) Tantangan dalam bidang akademik. Hal inilah yang terkadang membuat seseorang dalam fase Quarter Life Crisis tidak stabil dalam emosinya, sering mengalami kepanikan akibat kehilangan identitas dirinya dan ketidakpastian dengan masa depannya.
Cara mereka dalam menghadapi masa Quarter Life Crisis pun berbeda-beda dikarenakan latar belakang setiap manusia juga berbeda-beda. Dan upaya untuk mengatasi hambatan pada masa Quarter Life Crisis ini adalah dengan menerima ikhlas dan rasa syukur, tetap mengedepankan berpikir baik bahwa semua itu ketentuan dari Allah, dan berusaha menerima Motivasi dalam diri sangat penting bagi setiap orang yang mengalami fase Quarter Life Crisis. Jika motivasi tidak ditanamkan dalam diri yang terjadi adalah kesehatan mentalnya akan terganggu karena tertekan secara psikis dengan tujuan hidupnya dalam hal ini yaitu karir masa depannya. Selain itu, melakukan terapi spiritual penting dilakukan ketika seseorang berada di fase Quarter Life Crisis. Salah satu alternatif diajarkan oleh Islam ketika seseorang mengalami perasaan cemas adalah dengan berdzikir kepada Allah SWT. Seseorang yang mengalami Quarter Life Crisis akan merasa gelisah dan bimbang. Maka, dengan mengingat Allah lah jiwa menjadi lebih tenang dan tentram, serta menjadi pribadi yang bersyukur dengan potensi diri yang dimiliki tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
Dapat disimpulkan kecemasan pada rentan usia 18-29 tahun itu sudah menjadi hal yang biasa dan inilah yang dinamakan masa Quarter Life Crisis. Hal ini yang menyebabkan orang-orang dalam fase Quarter Life Crisis sering merasa terganggu kesehatan mentalnya karena masalah Quarter Life Crisis lebih sering menyerang psikis seseorang yang terkena imbasnya dan akhirnya berpengaruh pada kesehatan mental serta tidak jarang kesehatan fisiknya juga mulai menurun.
Referensi:
Aristawati, A. R., Meiyuntariningsih, T., Cahya, F. D., & Putri, A. (2021). Emotional Intelligence Dan Stres Pada Mahasiswa Yang Mengalami Quarter-Life Crisis. Psikologi Konseling, 19(2), 1035. https://doi.org/10.24114/konseling.v19i2.31121
Ilmiah, P. (2021). QUARTER LIFE CRISIS PADA KAUM MILLENIAL.
Salsabila, T. (2021). Pengaruh quarter life crisis terhadap kepercayaan diri mahasiswa psikologi UIN Malang. 12–15.